Kasus Bisnis Tidak Beretika

Oktober 29, 2012 at 11:59 am (Tugas Softskill)

Enam Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan Dampak Sosial

PADA 29 MEIkemarin tragedi luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun keenam. Namun demikian penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih menyisakan tanda tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada korban belum tuntas. Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per hari.

Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286 keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.

Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya ‘belum jelas’.

Enam Tahun Menyisakan Tangis

Senin (28/5) lalu, Nanik Mulyani warga Desa Jatirejo Kecamatan Porong tak kuasa membendung derai air matanya. Sambil terisak ia bercerita tentang hidupnya yang mendadak berubah drastis semenjak lumpur membanjiri desanya dan terutama tempatnya bekerja.

Dalam diskusi enam tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/5) ini Nanik dan sejumlah perempuan lain korban lumpur bercerita, sambil terisak mereka menumpahkan endapan masalah yang tak kunjung usai.

Wanita yang sebelumnya bekerja di pabrik ini mesti menanggung kehilangan pekerjaan, karena tempatnya bekerja terendam lumpur. Belum lagi rumahnya ikut pula terendam. Lengkap sudah, pekerjaan hilang, rumahpun tak punya. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, kini Nanik bekerja sebagai pembantu rumah tangga mulai pagi hingga sore. Pada malam hari, ia mencari uang dengan menjadi tukang ojek.

Dalam hal ganti rugi, dia yang hingga kini masih mengungsi ini memilih skema pembayaran cash and carry dari PT Minarak Lapindo Jaya dengan pola pembayaran 20 persen lalu 80 persen. Tapi itupun tak menyelesaikan persoalannya. “sampai sekarang saya baru terima 20 persen, itu pun harus dibagi dengan saudara ada delapan orang,” ujarnya sambil terus terisak.

“Saya ingin uang saya dibayar. Ini sudah enam tahun. Kemarin saya ikut demo ke Surabaya, malah dilempari gas air mata,” lanjutnya.

Bertema “Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”, dalam diskusi itu ditampilkan film dokumenter tentang kehidupan korban lumpur Lapindo. Tampak kondisi taman kanak-kanak siswa korban lumpur yang hanya berdinding triplek minim fasilitas, dindingnya pun hanya menutupi separuh bangunan.

Dampak Sosial

Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya menimbulkan dampak sosial.

Masalah kesehatan misalnya. Data di Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006. Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189 penderita.

Kemudian masalah pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah masalah kecemburuan sosial dan konflik antarwarga. Mengapa demikian?

Koordinator Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang berpotensi memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah yang terkena dampak lumpur.

“Bibit konflik horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan,” kata Andrie.

Banyak warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah menetapkan wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran. Ini tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Pemerintah menetapkan wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran dipercepat, sementara wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal, pembayarannya malah belum jelas.

Tuntutan

Mulai 16 April lalu, lebih dari 2.000 orang secara bergantian memblokade tanggul lumpur di titik 25, Porong, Sidoarjo. Meski terhitung menjadi korban pertama yang terusir dari kampung halaman sejak 2006, hingga kini proses ganti ruginya belum tuntas. Padahal, proses ganti rugi kepada rekan-rekan mereka yang kampungnya tenggelam belakangan malah sudah banyak yang beres.

Selama blokade, warga melarang truk-truk BPLS masuk. Praktis selama enam minggu belakangan sama sekali tak ada penguatan tanggul.

Padahal, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengatakan, curah hujan yang akhir-akhir ini cukup tinggi mengakibatkan kondisi tanggul kritis. Ia khawatir akan kondisi tanggul jika warga tetap bersikeras menduduki tanggul titik 25 sampai ada kejelasan status.

Sumber : http://hotmudflow.wordpress.com/2012/05/31/enam-tahun-lumpur-lapindo-sisakan-tangis-dan-dampak-sosial/

Saran dan Kesimpulan : Sebaik nya pihak Lapindo dengan cepat menangani masalah ini, karena sudah 6 tahun tidak ada perubahan, memberikan ganti rugi yang layak agak tidak berdampak ke aspek-aspek yang lainnya.

Kata Pakde Karwo, Tak Ada Pembobolan di Bank Jatim

Senin, 23 April 2012 13:16:49 WIB
Reporter : Rahardi Soekarno J.
Surabaya (beritajatim.com)–Gubernur Jatim Soekarwo menegaskan tidak ada pembobolan kredit di Bank Jatim. Yang terjadi sebenarnya bukanlah kredit fiktif, melainkan hanya kasus penipuan dan wanprestasi.

“Kasus penipuan terjadi pada Bank Jatim Cabang Sumenep, sementara kasus wanprestasi terjadi pada Bank Jatim Cabang Pembantu HR Muhammad Surabaya,” tegas Pakde Karwo kepada wartawan seusai Rakor Kesehatan Provinsi Jatim 2012 di Hotel Garden Palace, Senin (23/4/2012).

Pakde Karwo menjelaskan, di cabang Sumenep terjadi pemalsuan data oleh oknum pegawai Bank Jatim yang menyebabkan kerugian Rp 12,4 miliar dan menimpa 169 nasabah. “Kalau pidana penipuan ya diserahkan penanganannya kepada kepolisian. Jadi, tak ada yang dibobol,” tukasnya.

Sedangkan yang terjadi di Bank Jatim cabang pembantu HR Muhammad Surabaya adalah murni urusan bisnis terkait utang piutang individu atau wanprestasi. “Kalau yang di HR Muhammad itu business to business. Diperkirakan kerugian yang diderita pada Cabang Pembantu HR Muhammad mencapai Rp 20 miliar. Itu sudah dijamin asuransi PT Askrindo dan Jamkrindo. Jadi, nggak ada masalah lagi,” tuturnya.

Pakde Karwo juga mempersilahkan pihak kepolisisan menyelidiki kasus yang menerpa Bank Jatim di Sumenep. “Silakan saja, hal itu menjadi hak kepolisian, sekalian biar masalahnya jadi jelas dan tidak simpang siur informasinya,” tandasnya.

Pakde Karwo menjelaskan, menjelang Initial Public Offering (IPO) sekitar Mei-Juni 2012, masyarakat tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi pada Bank Jatim sekarang akan segera diselesaikan. “Situasi Bank Jatim masih sehat dan tidak ada permasalahan yang mengkhawatirkan, jadi nasabah tidak usah khawatir,” imbuhnya.

Dia menambahkan, Pemprov Jatim tidak akan mengalami kerugian karena sudah diasuransikan. “Ini sudah diasuransikan, yang bayar Askrindo dan Jamkrindo. Yang satunya agunannya Rp 2 miliar dan sudah dilelang,” tuturnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Bank Jatim Hadi Sukrianto ketika dimintai keterangan menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Bank Jatim hanya melibatkan dua cabang saja, yakni Sumenep dan HR Muhammad Surabaya . “Hasil tim audit internal yang dibentuk Bank Jatim hanya menemukan dua cabang yang bermasalah,” katanya.

Jika ditotal kerugian Bank Jatim, menurut Hadi Sukrianto, mencapai Rp 32,4 miliar. Kerugian tersebut tersebar di dua cabang, yang pertama adalah cabang pembantu HR Muhammad dengan kisaran Rp 20 miliar. “Yang macet di HR Muhammad (cabang pembantu) berkisar Rp 7 miliar, sehingga kami kalkulasikan, sehingga kemungkinan kami dirugikan sebesar Rp 20 miliar,” jelasnya.

Sementara itu, di cabang Sumenep permasalahanya berbeda dengan apa yang terjadi di cabang pembantu HR Muhammad. Pada cabang Sumenep, dugaan lebih menjurus kepada unsur pidana. Satu satunya indikasi pidana hanya terdapat pada cabang Sumenep. “Ada pemalsuan data dan merugikan Bank Jatim sebesar Rp 12,4 miliar,” pungkasnya.

Sumber : http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2012-04-23/133341

Saran dan Kesimpulan : Pihak Bank harus lebih waspada lagi atas pemalsuan data yang di lakukan karyawan agar tidak mengalami kerugian besar dan merugikan nasabah

Tinggalkan komentar